REVIEW - BADLAND HUNTERS
RasyidharryJanuari 28, 2024Action , Korean Movie , Lumayan , REVIEW , Science-Fiction25 komentar
Sebuah sekuel dengan judul yang sama sekali berbeda tanpa embel-embel angka, dengan deretan karakter berbeda, pula pendekatan yang sama sekali berbeda. Begitulah Badland Hunters, yang tujuan eksistensinya adalah untuk memperluas semesta salah satu film Korea Selatan terbaik tahun lalu, Concrete Utopia.
Naskah buatanKim Bo-tong dan Kwak Jae-min meninggalkan satir tajam yang tetap berpijak pada realisme milik film pertama, mengubahnya jadi aksi distopia yang kental sentuhan fiksi ilmiah. Ceritanya lebih generik, sebab jualan utama Badland Hunters adalah tinju maut Ma Dong-seok alias Don Lee.
Tiga tahun pasca gempa yang menghancurkan Seoul, sekelompok manusia tinggal di tengah padang gurun yang kekurangan air. Guna memenuhi kebutuhan pangan, para warga mengandalkan jasa Nam-san (Ma Dong-seok) si pemburu. Pertama kali kita bertemu Nam-san, ia tengah menolong partnernya,Choi Ji-wan (Lee Jun-young), dari kejaran buaya. Satu sabetan golok darinya sudah cukup memenggal kepala si buaya. Begitulah cara memperkenalkan karakter yang efektif.
Suatu ketika, Ji-wan membicarakan keberadaan sebuah apartemen yang konon mempunyai persediaan makanan serta air berlimpah. Bukan apartemen dari film pertama yang dia maksud, melainkan bangunan lain yang berada di bawah pengawasan dokter bernamaYang Gi-su (Lee Hee-joon).
Konon apartemen tersebut memberi peluang bagi para remaja untuk tinggal di sana sembari mengenyam pendidikan.Su-na (Roh Jeong-eui), gadis yang disukai oleh Ji-wan, jadi salah satu remaja yang beruntung. Tapi begitu Su-na dibawa pergi oleh seorang guru dari apartemen tersebut (Jang Young-nam), Nam-san dan Ji-wan menyadari adanya ketidakberesan dan mulai melakukan pengejaran.
Sejatinya Badland Hunters tetap menyelipkan beberapa kritik sosial serupa pendahulunya, dari persoalan jurang kelas hingga eksploitasi terhadap generasi muda, namun pokok bahasan utamanya tetaplah formula klise mengenai ilmuwan gila yang sudah ratusan kali kita temui. Pun di saat adegan aksi sedang absen dari layar, naskahnya tak mampu menghadirkan penceritaan yang bisa menjaga atensi penonton.
Lain cerita jika membicarakan aksi.Heo Myung-haeng selaku sutradara (juga mengarahkan The Roundup: Punishment yang rilis tahun ini) tahu betul cara memaksimalkan kelebihan Ma Dong-seok lewat rentetan perkelahian brutal, termasuk pertumpahan darah di klimaks berlatarkan lorong-lorong sempit apartemen.
Ma Dong-seok bukan aktor laga yang jago berjungkir balik melempar jurus layaknya Iko Uwais, Tony Jaa, atau Scott Adkins. Bahkan ia masih kalah lincah dibandingAn Ji-hye, yang tampil memukau dengan melakoni nyaris seluruh stunt-nyasendiri, kalamemerankan Lee Eun-ho si mantan tentara di film ini. Tapi sang aktor punya karisma yang bisa membuat penonton percaya bahwa satu pukulannya dapat memporak-porandakan gedung.
Badland Hunters bak menyimpan tujuan terselubung, yakni mencarikan lawan sepadan bagi Ma Dong-seok. Ketika preman biasa tak lagi berkutik, dihadirkanlah sekelompok mutan (lebih tepatnya modifikasi dari pasukan zombie). Memasuki babak ketiga, Ma Dong-seok membuat para mutan melayang menggunakan tinjunya, kemudian mencabut kepala mereka dengan tangan kosong. Jika itu terdengar seperti pemandangan yang bakal membuat kalian bersorak, tontonlah Badland Hunters.
(Netflix)
REVIEW - NOT FRIENDS
RasyidharryJanuari 26, 2024Bagus , Comedy , Drama , REVIEW , Thai Movie35 komentar
Mendefinisikan "teman" memang gampang-gampang susah. Apakah "teman sekelas" bisa disebut "teman" meski jarang bertegur sapa? Ataukah perlu diciptakan tingkatan-tingkatan untuk mengategorikan ragam bentuk hubungan? Not Friends yang jadi perwakilan Thailand di Academy Awards 2024 coba memecahkan tanda tanya tersebut, dengan cara menyoroti proses terbentuknya sebuah pertemanan.
Pae (Anthony Buisseret) adalah murid baru yang memilih mengasingkan diri sendiri. Bahkan keramahan rekan sebangkunya, Joe (Pisitpol Ekaphongpisit), ia tolak mentah-mentah. Sampai terjadilah tragedi. Joe meninggal akibat tertabrak mobil. Tapi ketika tersiar kabar soal peluang diterima di universitas melalui lomba film pendek (tanpa ujian tertulis), tragedi itu berubah jadi peluang bagi Pae.
Pae memutuskan membuat film pendek tentang Joe, dengan kedok memberi penghormatan. Bokeh (Thitiya Jirapornsilp), teman sebangku Joe semasa SMP, awalnya menolak rencana itu. Baginya Pae bukan teman sungguhan bagi Joe.
Siapa dari keduanya yang pantas disebut "teman Joe"? Pertanyaan itu kelak bakal menemukan jawabannya, tapi tidak sebelum Pae dan Bokeh mengesampingkan perseteruan mereka, kemudian bersama-sama memproduksi film pendek mengenai Joe.
Dari situlah Not Friends turut melempar surat cinta bagi film, atau lebih tepatnya, proses pembuatan film. Beberapa judul populer diparodikan, yang niscaya jadi hiburan tersendiri untuk pecinta film. Bukan berarti alurnya keluar jalur, sebab proses itu jadi cara naskahnya menjelaskan lahirnya pertemanan.
Produksi yang dijalani Pae dan kawan-kawan sangat sederhana. Tapi kesederhanaan itu, yang membawa semangat "do it yourself", justru memunculkan kebersamaan yang menyatukan. Tanpa sadar mulai terjalin ikatan emosi di hati mereka, walau tadinya tak saling kenal, atau malah saling benci layaknya Pae dan Bokeh. Pertemanan memang tercipta secara alami. Tidak bisa dipaksa, mustahil dipalsukan.
Penonton bakal mudah merasakan koneksi antar karakter berkat permainan gemilang jajaran pelakon mudanya, yang di satu sisi piawai mengolah emosi secara natural, namun di sisi lain tidak kagok melakoni deretan momen komedik absurd. Berkat performa mereka, visi Atta Hemwadee selaku sutradara sekaligus penulis naskah pun terealisasi.
Naskah buatan Hemwadee begitu imajinatif. Bukan cuma di humor yang kerap hadir dalam bentuk tak terduga, momen dramatiknya pun demikian.Diiringi musik mendayu yang efektif menusuk hati garapan VichayaVatanasapt,Hemwadee mampu memunculkan dampak emosi lewat hal-hal yang mungkin takkan tercetus di benak banyak sineas.
Puncaknya tentu di adegan "Power Point" yang menghadirkan surat cinta luar biasa indah, bukan hanya bagi hubungan pertemanan atau proses produksi film, namun sesuatu yang lebih luas: kehidupan. Meski setelah itu filmnya terkesan terlalu lama mengakhiri penceritaan akibat keharusan "menjawab"twist besar di pertengahan durasi yang sejatinya tidak diperlukan, momen itu tetap tak kehilangan dampaknya.
Jadi siapakah sebenarnya "teman" itu? Rasanya tidak keliru bila mengartikannya sebagai seseorang yang jadi tempat kita berbagi. Berbagi rasa, berbagi cerita, berbagi rahasia, dan tentunya berbagi kehidupan.
REVIEW - #OOTD: OUTFIT OF THE DESIGNER
RasyidharryJanuari 25, 2024Drama , Indonesian Film , Kurang , REVIEW , Romance25 komentar
Menilik judulnya, mudah menebak kalau #OOTD: Outfit of the Designer bakal membicarakan seluk-belukfashion, dan selama sekitar 30 menit pertamanya, begitulah debut penyutradaraan Dimas Anggara ini bergulir. Setengah jam yang menjanjikan banyak hal. Kapan lagi film kita membahas dunia mode?
Mengambil latar Birmingham, terjadilah pertemuan dua mahasiswa Indonesia: Nare (Jihane Almira) yang bercita-cita menjadi desainer, dan Bagas (Rangga Nattra) si fotografer. Sewaktu baju-baju karya Nare hendak dipasarkan, Bagas bersedia memfoto secara cuma-cuma. Tentu keduanya bakal terlibat asmara bukan? Ya, namun tak sesederhana itu.
Mereka berasal dari kelas ekonomi berbeda. Di adegan pembuka, kita melihat Nare yang berasal dari keluarga kaya menerima uang saku bulanan dari sang ayah, sedangkan Bagas si penerima beasiswa mengirim uang ke orang tuanya yang kurang mampu.Bagas pun selalu menolak tawaran Nare untuk mampir ke apartemennya dengan alasan sibuk mengerjakan tugas.
Setengah jam pertamanya tampil menarik, sebab alih-alih sebatas menghadirkan tarik ulur percintaan Nare dan Bagas (yang interaksinya senantiasa menarik berkat penampilan natural kedua pemain), alurnya tidak lupa menyoroti kehidupan Nare sebagai perancang busana, dari prosesnya menyelesaikan tugas akhir, hingga keputusan mengadakan peragaan busana di jalanan bersama tiga temannya sesama orang Indonesia: Luni (Asmara Abigail), Dantie (Jolene Marie), danMala (Givina Lukita).
Naskah buatanIndra Bayu, Tassia Mariska, dan Delly Malik Muharyoso belum terlalu dalam kala mengeksplor tetek bengek fashion, pun ada kalanya terlalu bergantung pada tuturan verbal sehingga terkesan cerewet, namun di tengah keseragaman tema perfilman Indonesia, apa yangOutfit of the Designer tampilkan di paruh awalnya sudah cukup menyegarkan.
Bagaimana dengan penyutradaraan perdana Dimas Anggara? Dibantu tata kamera garapan Faozan Rizal, Dimas menyusun gambar-gambar cantik yang menangkap nuansa khas Eropa, dengan gaya arsitektur yang selalu nampak "elegan" di mata masyarakat Indonesia. Pengarahan Dimas di departemen visual tidak mengecewakan, tapi lain cerita jika membicarakan tata audio.
Pemakaian lagu C.H.R.I.S.Y.E. demikian menonjol di sini, yang harus diakui memang pas mengiringi keseharian karakternya. Tapi rasanya tidak perlu diperdengarkan hingga tiga kali. Begitu lagu akhirnya berubah, pilihan malah jatuh ke Separuh Aku milik Noah yang kecocokannya patut dipertanyakan. Bukankah lebih baik memaksimalkan isian musik Andi Rianto?
Memasuki sejam terakhir, fokus bergeser sepenuhnya ke romansa, yang membuatOutfit of the Designer kehilangan kesegaran. Lalu ketika Aksa (Derby Romero) datang sebagai pesaing cinta Bagas, alurnya terjerumus ke pola penceritaan ala sinetron, di mana sang protagonis mendadak mengalami penderitaan demi penderitaan tanpa akhir, yang makin lama makin dipaksakan, dan tentunya, secara bertahap melucuti kualitas filmnya.
Penurunan kualitasOutfit of the Designer di satu jam terakhir adalah sesuatu yang harus dilihat dengan mata kepala sendiri untuk bisa dipercaya. Entah apa yang ada di kepala para penulis sampai meruntuhkan pondasi solid yang telah dibangun. Apakah mereka terlalu banyak menonton telenovela dengan segala nasib buruk si tokoh utama wanita?
Begitu 107 menit durasinya berakhir, saya pun bertanya-tanya, "Apa yang sebenarnya mau film ini sampaikan?". Apakah soal gambaran kehidupan mahasiswa fashion di Birmingham? Pesan empowerment mengenai keharusan wanita untuk segera keluar dari hubungan toxic? Kritik seputar kerusakan lingkungan (yang malah terasa sebaliknya karena Bagas akhirnya menerima identitas orang tua Nare)? Saya kebingungan, dan mungkin saja para penulisnya pun demikian.
REVIEW - ALIENOID: RETURN TO THE FUTURE
RasyidharryJanuari 24, 2024Action , Cukup , Fantasy , Korean Movie , REVIEW , Science-Fiction25 komentar
Choi Dong-hoon selaku sutradara menyebut bahwa ada 50 versi berbeda dariAlienoid: Return to the Future di ruang penyuntingan. Mungkin ia sendiri kelabakan menata narasi ambisius dalam naskah buatannya (yang bahkan sudah disederhanakan dibanding draft awal) supaya tersaji rapi.
Jangan berani-berani menjajalReturn to the Future tanpa menonton film pertamanya yang rilis dua tahun lalu. Rekap di beberapa menit awal tak seberapa membantu karena: 1) Hanya mencakup sekelumit informasi, 2) Disusun secara acak-acakan.
Saking ambisiusnya penceritaan film ini, mereka yang sudah menonton film pertama pun bukan tidak mungkin bakal tersesat di beberapa titik. Masih membahas perihal perjalanan waktu, alurnya kerap bergerak bolak-balik antara latar tahun 1391 dan 2022. Lemahnya penyuntingan kerap menciptakan lompatan kasar pada transisi kedua masa, yang mempersulit upaya penonton mengikuti kisahnya.
Di tahun 1391, Yi-an (Kim Tae-ri) dan Mureuk (Ryu Jun-yeol) masih terlibat perebutan pedang ilahi, sementara di tahun 2022, Min Gae-in (Lee Hanee) mendapati kehancuran Bumi makin mendekat akibat ancaman pihak alien. Kedua era tersebut nantinya bakal saling bersinggungan.
Ambisi terbesar Choi Dong-hoon adalah ketika naskahnya mengajak penonton kembali mengunjungi beberapa peristiwa di film pertama, untuk kemudian mendapatkan perspektif baru dari peristiwa tersebut. Kreativitas gagasannya patut diapresiasi, walau eksekusinya belum mumpuni, terutama soal kerapian bercerita.
Paruh pertama Alienoid: Return to the Future memang cukup kacau sekaligus melelahkan, meski Kim Tae-ri dengan kepiawaiannya melakoni aksi, pula comic timing kepunyaanJo Woo-jin dan Yum Jung-ah sebagai duo penyihir eksentrik, masih bisa menjaga kestabilan film.
Barulah di paruh kedua, sewaktu latar beralih ke era modern, segala aspek filmnya mengalami peningkatan drastis. Humor yang tadinya cenderung hit-and-miss mulai konsisten mengenai sasaran, sementara gelaran aksinya mencapai tingkat kreativitas tertinggi. Pengarahan dinamisChoi Dong-hoon mampu menerjemahkan gagasan baku hantam liar miliknya. Tatkala lagu In Dreams kepunyaan Roy Orbison (secara tak terduga) menutup filmnya, kelemahan-kelemahanAlienoid: Return to the Future pun layak dimaafkan.
REVIEW - SOCIETY OF THE SNOW
RasyidharryJanuari 23, 2024Bagus , REVIEW , Thriller21 komentar
Survive! (1976) dan Alive (1993) adalah film-film yang mendramatisasi peristiwa jatuhnya pesawat Uruguayan Air Force Flight 571 di pegunungan Andes pada 13 Oktober 1972. Optimisme terpancar dari kedua judul tersebut, karena statusnya memang perayaan terhadap keberhasilan para penyintas bertahan hidup. Tapi bagaimana dengan mereka yang tak pernah pulang?
Ada dualisme dalam kecelakaan tersebut. Beberapa menyebutnya "Tragedi Andes", sedangkan nama "Mukjizat Andes" disematkan oleh mereka yang coba memandang dari perspektif lebih positif. J. A. Bayona selaku sutradara Society of the Snow, yang turut menulis naskahnya bersama Bernat Vilaplana,Jaime Marques, danNicolás Casariego, tidak berniat mengeksploitasi salah satu sisi.
Society of the Snow, yang mengadaptasi bukuLa sociedad de la nieve buatan Pablo Vierci, bukan tragedi yang mengemis air mata penonton, bukan pula aksi kepahlawanan yang berambisi tampil menggugah. Dia ibarat elegi penuh hormat bagi para korban jiwa. Setiap ada individu yang meninggal, nama sekaligus usianya tertera di layar. Mereka bukan sebatas tubuh tanpa nyawa maupun data statistik berupa angka.
Awalnya 45 orang terbang dari Montevideo (Uruguay) menuju Santiago (Chile). Termasuk di dalamnya adalah 19 anggota tim rugbi Old Christians. Lalu terjadilah peristiwa nahas tersebut. Akibat kekeliruan navigasi, pesawat terjatuh di tengah hamparan salju Andes.
Layaknya tsunami di The Impossible (2012), Bayona memvisualisasikan kecelakaan itu dengan begitu mencekam. Wajah-wajah ketakutan di tengah suara mesin yang perlahan-lahan semakin memekakkan telinga, doa demi doa yang mulai dipanjatkan, hingga tubuh yang saling bertabrakan tatkala pesawat menghantam daratan. Sejak itulah lanskap pegunungan bersalju yang indah menjadi sumber keputusasaan.
Di hari pertama, 33 orang yang bertahan hidup berharap tim SAR bakal datang dalam hitungan hari. Lebih dari dua bulan berselang (hari ke-72) barulah pertolongan itu tiba, guna membawa pulang 16 penyintas. Society of the Snow merangkum 72 hari penuh penderitaan itu ke dalam 144 menit yang punya cukup permasalahan guna menyokong durasi yang lumayan panjang.
Society of the Snow piawai memancing rasa tidak nyaman penonton, entah lewat kengerian berbagai kecelakaan lanjutan yang terus mendera para penyintas, sampai hal-hal menjijikkan yang terpaksa dilakukan demi bertahan hidup, dari memakan koreng hingga mayat. Dilema moral perihal kanibalisme yang identik dengan tragedi ini tak luput diolah oleh naskahnya.
Di kursi penyutradaraan, Bayona masih lihai mengaduk-aduk emosi tanpa perlu mengeksploitasi. Sang sutradara tidak melulu bergantung pada alunan musik melankolis dan pemandangan mengharu biru. Tapi keputusan paling brilian yang ia lakukan adalah dengan menjadikan Numa Turcatti(Enzo Vogrincic) sebagai protagonis.
Numa bukan anggota tim rugbi. Dia hanyalah orang luar yang kebetulan diajak turut serta, dan baru memutuskan ikut di saat terakhir. Dia pun tidak termasuk dalam 16 penyintas yang diselamatkan pada 22-23 Desember 1972. Pada 11 Desember, Numa jadi penumpang terakhir yang kehilangan nyawa.
Mempresentasikan alurnya melalui sudut pandang Numa, yang namanya jarang dibicarakan karena bukan termasuk penyintas, menegaskan intensi Society of the Snow. Film ini adalah penghormatan bagi para "unsung heroes". Bagi mereka yang jarang dipanggil "pahlawan" akibat tidak berhasil pulang. Tatkala voice over Numa terdengar di penghujung cerita, ia seperti tengah mengawasi kawan-kawannya yang hidup di dunia, sembari tersenyum dari tempat di mana ia tidak lagi menderita.
(Netflix)
REVIEW - PETUALANGAN ANAK PENANGKAP HANTU
RasyidharryJanuari 20, 2024Adventure , Comedy , Indonesian Film , Kurang , REVIEW30 komentar
Ketika industri perfilman Indonesia tengah dikuasai horor yang menyasar kalangan dewasa, sebuah film anak yang bersikap skeptis pada hal-hal mistis berpeluang menawarkan antitesis menarik. Di situlah letak daya tarikPetualangan Anak Penangkap Hantu dengan pendekatan ala Scooby-Doo miliknya, yang mengadaptasi novel Anak Penangkap Hantu karya Asma Nadia.
Anak Penangkap Hantu (APH) adalah nama tim yang terdiri dari Raffi (Muzakki Ramdhan), Chacha (Giselle Tambunan), dan Zidan (M. Adhiyat). Dibantu Bang Dul (Andy Boim) selaku sopir, ketiga bocah ini menerima jasa penangkapan hantu. Bukan hantu biasa, sebab layaknya kelompok Mystery Inc., mereka selalu bisa membuktikan bahwa sang penebar teror hanyalah manusia biasa yang menyamar.
Pertama kita berkenalan dengan trio APH, mereka baru saja meringkus satu lagi hantu palsu. Setelahnya, kita diajak mengunjungi kamar masing-masing anggota. Dinding kamar Zidan dihiasi foto-foto ilmuwan, menandakan bahwa ialah otak tim, sedangkan gambar olahraga ekstrim memenuhi kamar Raffi, menyiratkan kalau dirinya tidak kenal takut. Info karakterisasi yang terkesan "menyuapi" itu bukan masalah, karena diterapkan di film yang menjadikan anak-anak sebagai target pasar.
Bagaimana dengan Chacha? Karena dia anak perempuan, maka gambar para Disney Princess yang terpajang di kamarnya. Ini baru bisa dipandang selaku masalah, sebab hingga akhir pun, naskah buatan sang sutradara, Jose Purnomo, tak mampu menentukan penokohan bagi Chacha.
Masalah terkait penokohan juga dialami Raffi. Dia gemar menantang bahaya, hingga membuat Chacha kerap berujar, "Raffi suka kelewat berani". Tapi di sisi lain, bersama Bang Dul, Raffi menciptakan "duo penakut" serupa Scooby-Shaggy. Kurang jelas apa intensi di balik keputusan naskahnya menghadirkanpertentangan nyeleneh (seorang pemberani yang takut hantu)tersebut.
Suatu ketika, APH diminta oleh Gita (Adinda Thomas) untuk menyelidiki kasus di desanya. Konon, akibat amarah penunggu hutan, sumber air desa dilanda kekeringan. Bukan cuma itu, banyak warga mendadak hilang walaupun berbagai ritual telah dilakukan oleh dukun setempat, Wak Bomoh (Sujiwo Tejo).
Jika hendak mengikuti (kalau tak mau disebut "meniru") daya hibur serial Scooby-Doo, maka Petualangan Anak Penangkap Hantu melupakan satu elemen penting, di mana dalam penyelidikan para tokoh utama, naskahnya luput menyertakan proses mengumpulkan petunjuk. Alhasil, tidak ada rasa penasaran yang timbul tatkala keping-keping puzzle ditemukan satu demi satu.
Naskah jadi kelemahan terbesar film ini. Saat konflik dengan Wak Bomoh meruncing, dan sang dukun menuduh kedatangan tim APH malah memperparah kondisi desa. Seketika warga berteriak, beramai-ramai mengusir APH, seolah sedang berurusan dengan orang dewasa. Entah Jose Purnomo lupa tengah menulis naskah film anak, atau ia memang tidak tahu cara menghadirkan permasalahan bagi karakter anak.
Tapi sebaliknya, sempat pula naskahnya tampil terlalu bodoh bahkan untuk ukuran tontonan anak. Hal itu paling kentara tatkala muncultwist sarat kontradiksi yang mengungkap kebenaran di balik hilangnya warga desa.
Seperti biasa Muzakki bermain apik memainkan segala emosi, sedangkan Sujiwo Tejo memberikan antagonis yang mudah dibenci. Keduanya mampu menjaga laju filmnya. Begitu pun musik megah gubahan Ricky Lionardi. Musik buatan Ricky mengesankan adanya petualangan luar biasa seru, yang sayangnya urung terwujud, apalagi sewaktu pengarahan Jose pun tampil kurang bertenaga.
REVIEW - SEHIDUP SEMATI
RasyidharryJanuari 14, 2024horror , Indonesian Film , Kurang , REVIEW , Thriller31 komentar
Pada 2012 (14 tahun lalu) Upi menelurkan Belenggu, yang meski kurang sukses secara finansial, pelan-pelan memperoleh pengakuan seiring waktu, berkat gaya Lynchian-nya yang unik untuk ukuran film Indonesia. Sehidup Semati, yang konon sudah ditulis naskahnya sejak 13 tahun lalu, menyisakan setumpuk kemiripan. Masih sureal, masih dihiasi tata artistik cantik, masih menyoroti gangguan psikis si protagonis, dan sayangnya masih disokong oleh naskah yang kurang mumpuni bereksplorasi.
Bedanya, di sini Upi mengganti sosok pria gamang di Belenggu dengan wanita korban KDRT. Nama wanita itu Renata (Laura Basuki). Semasa kecil, sang ibu yang juga korban kekerasan, pernah berpesan bahwa apa pun yang terjadi, wanita harus bersabar karena perceraian adalah perbuatan buruk. Itulah yang sekarang dilakukan Renata. Walaupun Edwin (Ario Bayu) kerap memukulinya, ia memilih bertahan dan terus menyiapkan makanan bagi sang suami.
Renata enggan meninggalkan pernikahan yang telah sedemikian hancur dan membahayakan, sebagaimana ia menolak mengikuti para tetangga yang berbondong-bondong pindah gara-gara apartemen mereka yang tidak lagi layak huni. Sampai Renata bertemu Asmara (Asmara Abigail) yang punya kepribadian berlawanan dengannya.Asmara yang blak-blakan dan semaunya ibarat antitesis bagi Renata si istri penurut.
Tentu tidak sulit menangkap jati diri Asmara sebenarnya, atau lebih tepatnya, hal apa yang diwakili oleh karakternya. Tapi kurang tepat kalau menyebut kelemahan film ini adalah "gampang ditebak" mengingat film bukanlah kuis. Masalah Sehidup Semati adalah ketidakmampuan konflik miliknya mengikat atensi akibat presentasi yang penuh repetisi.
Kita diajak mengikuti rutinitas Renata, di mana harinya dimulai dengan menerima sikap dingin Edwin yang hendak berangkat kerja, lalu Renata yang tinggal seorang diri di rumah dihantui oleh penampakan wanita misterius (dikemas memakai jump scare ala kadarnya).
Durasi 108 menitnya diisi oleh pengulangan dari situasi di atas, yang makin lama makin melelahkan, meskipun Upi, dibantu oleh tata kamera garapan Yunus Pasolang dan departemen artistik garapan Jafar Shiddiq, selalu bisa membuai mata penonton lewat visual cantik serta pilihan shot unik. Begitu film berakhir dan mengungkap twist-nya, saya tidak merasa telah diajak mengarungi suatu proses dengan tahapan yang terstruktur.
Di jajaran pemain, Ario Bayu mudah menyulut kebencian kita, Asmara Abigail dengan keliarannya mampu memberi tambahan energi, sementara Laura Basuki jadi aspek terbaik filmnya melalui totalitas olah rasa dalam memerankan wanita yang tersiksa secara psikis.
Laura pantas mendapat materi yang lebih baik. Materi yang bukan sekadar amalgam medioker dari karya-karya Roman Polansi di era 60-an macam Rosemary's Baby (suara nyanyian wanita misterius yang menghantui Renata bak modifikasi dari Lullaby gubahan Krzysztof Komeda) dan Repulsion.
REVIEW - ANCIKA: DIA YANG BERSAMAKU 1995
RasyidharryJanuari 12, 2024Cukup , Indonesian Film , REVIEW , Romance30 komentar
Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 tidak menampilkan tawuran antar geng, walau ada satu adegan pengeroyokan singkat. Beberapa rayuan manis dilontarkan karakternya, namun tidak sepuitis (baca: segombal) di tiga film sebelumnya. Dibanding para pendahulunya, film ini punya skala lebih kecil, terasa lebih sederhana serta intim, dan tentunya dengan pendekatan lebih dewasa.
Wajar, mengingat Dilan (Arbani Yasiz) kini telah berstatus mahasiswa ITB. Seragam putih abu-abu telah ia tanggalkan, begitu pula tampuk kepemimpinan geng motor yang memberinya julukan "Panglima Tempur". Dilan nampak lebih tenang. SetenangKota Bandung yang di film ini terasa bak rumah, bahkan bagi non-penduduk seperti saya.
Ada banyak perubahan di sini. Selain bergantinya pemeran si tokoh utama, kini Milea tak lagi mengisi hati Dilan. Posisi tersebut diisi oleh Ancika (Zee JKT48) yang duduk di bangku SMA. Belum lagi membahas berbagai perubahan di balik layar, termasuk departemen penyutradaraan yang berpindah dari Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ke Benni Setiawan.
Tapi toh setumpuk perubahan tadi tak sampai merombak formula serinya.Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 masih soal hubungan dua manusia yang melalui proses "benci jadi cinta", dengan hadirnya sosok ketiga selaku "pengganggu" (Yadit yang diperankan Daffa Wardhana), sedangkan hal-hal di luar romantika turut datang sebagai bumbu penyedap.
Walau demikian, menyebutnyasebagai pengulangan semata rasanya terlalu menggampangkan.Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 adalah cerita yang sama, namun dengan dinamika berbeda. Penokohan Dilan mengalami perkembangan. Tetap eksentrik, tetap kaya akan teknik merayu aneh, namun lebih matang. Arbani Yasiz pun lebih meyakinkan sebagai figur karismatik yang mampu menciutkan nyali musuh hanya dengan menampakkan wajah.
Zee sebagai Ancika memberi lawan seimbang bagi keeksentrikan Dilan lewat sikap kerasnya. Ancika bukan tipikal gadis yang mudah membisu akibat tertegun mendengar tutur kata Dilan. Dia senantiasa "melawan", dan karakterisasi tersebut, ditambah chemistry solid kedua pemeran, melahirkan pembeda dibanding dinamika Dilan-Milea dahulu.
Sayangnya naskah buatan Benni Setiawan dan Tubagus Deddy banyak menyisakan pengembangan cerita yang setengah matang. Tidak perlu sampai membahas subplot politik terkait peristiwa jelang reformasi, perihal yang lebih mendasar macam konflik cinta segitiganya pun gagal tampil maksimal.
Alhasil stake-nya terasa rendah. Ketika Daffa Wardhana mampu sepenuhnya lepas dari kekakuan yang kerap menganggu aktingnya, naskahnya justru tak kuasa menjadikan Yadit terasa "mengancam" selaku pesaing cinta.
Ancika: Dia yang Bersamaku 1995pun kekurangan momen romantis ikonik untuk sebuah film yang ingin menyampaikan bahwa "Ancika memang bukan yang pertama singgah di hati Dilan, tapi ialah yang terakhir". Apalagi benturan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan di ending-nya kekurangan dampak emosi akibat keputusan me-recast satu lagi karakter penting.
Tapi selepas Milea: Suara dari Dilan (2020) yang tak lebih dari sebuah rekap malas, setidaknyaAncika: Dia yang Bersamaku 1995 berhasil memberi konklusi yang pantas bagi franchise-nya. Berkat penampilan dua pemain utama,100 menit durasinya tak berakhir sia-sia, terlebih sewaktu barisan lagu-lagu yang manis sekaligus emosional, setia mengiringi perjalanan mereka.
10 FILM ASING TERBAIK 2023
RasyidharryJanuari 10, 2024Best , List25 komentar
Mengapa saya tetap membuat daftar ini di saat jumlah tontonan selama tahun 2023 menurun drastis? Karena bagi saya, daftar terbaik tahunan bukanlah ajang pamer siapa yang lebih banyak menonton, atau seberapa sering seseorang mengonsumsi karya antimainstream, melainkan sebuah kapsul waktu yang mencerminkan fase kehidupan pembuatnya dalam setahun terakhir.
Di luar 10 judul yang masuk jajaran teratas, ada lima judul yang terlalu sayang untuk tak saya sertakan dalam artikel ini. Past Lives dengan konklusi yang masih menghantui sampai sekarang, Teenage Mutant Ninja Turtles: Mutant Mayhem dengan keliaran animasinya, Guardians of the Galaxy Vol. 3 yang jadi perpisahan emosional, Barbie dengan kreativitasnya menyusun kisah empowerment, dan Killers of the Flower Moon yang sedemikian mendalam mengeksplorasi ruang gelap manusia.
Berikut adalah "10 Film Asing Terbaik 2023" versi Movfreak yang terdiri dari film-film yang rilis di Indonesia (bioskop, streaming, festival) sepanjang tahun lalu.
Kisah mengenai relasi manusia dengan lingkungannya, juga benturan antara modernisasi dan alam, yang oleh Ryusuke Hamaguchi dikemas begitu menghipnotis.
Hayao Miyazaki kembali dari masa pensiun dan langsung melahirkan mahakarya mengenai proses pendewasaan seraya menghadapi duka, yang hadir lebih sureal dibanding karya-karya sang legenda biasanya.
Kejutan terbesar tahun lalu. Sebuah adaptasi yang dapat dengan mudah menjadi satu lagi produk generik ala Hollywood, nyatanya justru menghadirkan perpaduan magis antara Paddington dan La La Land.
Salah satu film aksi terbaik sepanjang masa. Sesederhana itu. Setiap set piece aksi digarap dengan perhatian luar biasa akan detail serta estetika.
Hirokazo Kore-eda memanfaatkan Rashomon effect guna mengingatkan penonton akan pentingnya proses mengenali. Bahwa monster di dunia nyata bukanlah sesosok raksasa melainkan jahatnya prasangka.
Perjalanan dua setengah jam yang tak pernah melepaskan cengkeraman intensitasnya. Ketika misteri pembunuhan(?) menarik berpadu dengan drama yang mempertanyakan perihal definisi "kebenaran".
Sebuah surat cinta sekaligus benci terhadap sinema beserta industrinya yang tampil luar biasa megah nan magis. Film yang saya yakin reputasinya bakal terus membaik dalam tahun-tahun ke depan.
One of a kind. Begitulah debut penyutradaraan Jason Yu ini. Memadukan beragam genre untuk menciptakan suguhan sarat kejutan, yang (sayangnya) berujung jadi kado perpisahan dari Lee Sun-kyun. Rest in peace.
Makin liar dalam teknik animasi, makin gila pula dalam bercerita. Sebuah sekuel yang sanggup melampaui pencapaian memikat pendahulunya.
Kulminasi dari karya-karya seorang Christopher Nolan, di mana segala kekhasan yang identik dengan sang sineas mencapai titik terbaiknya. Ditunjang akting superior Cillian Murphy, Nolan akhirnya berhasil mementahkan tudingan bahwa ia kurang jago menghantarkan emosi. Oppenheimer adalah karya paling emosional dari sang sutradara, tentunya dengan caranya sendiri.
REVIEW - TRINIL: KEMBALIKAN TUBUHKU
RasyidharryJanuari 09, 2024horror , Indonesian Film , Kurang , REVIEW21 komentar
Memasuki era 70-an, wajah politik di Indonesia mengalami perubahan saat jumlah partai politik dipangkas menjadi tiga (Golkar, PDI, PPP) sejak pemilu 1977. Perubahan selalu menyisakan ketidakpastian terkait dampak yang dihasilkan. Positif? Negatif? Atau sebatas stagnasi?
Sewaktu Rara (Carmela van der Kruk) pulang ke perkebunan teh warisan ayahnya selepas berbulan madu bersama sang suami, Sutan (Rangga Nattra), timbul pertanyaan seputar pengaruh yang dibawa. Apakah Rara adalah pembawa anugerah karena di hari pertamanya menjejakkan kaki hujan deras langsung mengguyur? Ataukah ia sumber kutukan yang memicu terjadinya gagal panen di beberapa waktu terakhir?
Setelah 17 tahun berlalu,Hanung Bramantyo kembali membesut horor yang kembali menautkan teror mistis dengan sejarah beraroma politis negeri ini. Jika Legenda Sundel Bolong (2007) membicarakan peristiwa 1965, maka Trinil: Kembalikan Tubuhku yang mengadaptasi sandiwara radio berjudul sama dari dekade 80-an, membahas iklim politik Indonesia pada 1970-an.
Keunggulan Trinil dibanding mayoritas horor lokal belakangan adalah bagaimana naskah buatan Hanung bersama Haqi Achmad bersedia memerhatikan cara bernarasi. Misteri mengenai kematian aneh para buruh perkebunan diberi ruang eksplorasi alih-alih sekadar memenuhi durasi dengan penampakan kuyang.
Ya, penelusuran atas kasus tersebut, yang turut mengungkap masa lalu ibu Rara, Ayu (versi dewasa diperankan Wulan Guritno, versi muda diperankan Shalom Razade), menjadikan sosok kuyang sebagai sumber penebar teror. Menjauhkan diri dari hantu-hantu yang lebih populer memang meniupkan angin segar. Ditambah pendekatan ekspresionis dari Hanung yang membungkus kehadiran si demit tanpa tubuh dengan tata pencahayaan penuh warna mencolok bak pertunjukan panggung, Trinil: Kembalikan Tubuhku jadi horor yang memiliki identitas visual kuat.
Sayangnya ia bukan horor yang mengerikan. Mayoritas kemunculan si kuyang tak lebih dari kegiatan setor muka tanpa dampak berarti. Bumbu komedinya justru lebih efektif, baik dari running joke mengenai Pak Joko (Goetheng Iku Ahkin) yang memasuki kamar Rara, atau lewat dinamika unik pasutri karakter utamanya, di mana sebagai suami, Sutan malah jauh lebih penakut dibanding sang istri.
Sedangkan terkait drama politiknya, Hanung enggan bertutur secara gamblang. Serba-serbi politik Indonesia era 70-an tampil diwakili oleh deretan masalah di kebun teh. Kisah keluarga disfungsional yang saling meributkan warisan mencerminkan gejolak perebutan kekuasan negara (termasuk warna khas tiga partai politik yang silih berganti mengisi layar dalam bentuk pencahayaan, properti, dan kostum), karakter Yusof (Fattah Amin) si dukun eksentrik yang merepresentasikan nasib mereka yang hendak mengungkap kebenaran di negeri ini, hingga konklusi yang bertujuan mengingatkan betapa "setan" bakal terus menghantui dalam beragam bentuk selama para penguasa masih menghalalkan cara-cara kotor.
Banyak subteks politik ingin Hanung sampaikan di sini. Bahkan mungkin terlalu banyak, sampai paruh akhirnya seolah bergulir tanpa ujung. Pun di luar beberapa potongan berita di kredit pembuka, naskahnya luput menyediakan "petunjuk jalan" bagi penonton. Memberi sedikit remah-remah petunjuk guna memancing antusiasme penonton menguraikan simbolnya bukanlah bentuk "menyuapi". Tapi kekurangan yang sukar dimaklumi adalah perihal yang lebih mendasar: sebagai horor, Trinil: Kembalikan Tubuhku gagal tampil menyeramkan.
Postingan Lebih BaruPostingan LamaBeranda
Langganan:Postingan ( Atom )